Dari jalan yang mu'allaq[1] dari Ibnu Umar, ia berkata, "Barangkali saya ingat perkataan seorang penyair ketika saya melihat wajah Rasulullah memohon hujan, dan beliau tidak turun sehingga tiap-tiap saluran (selokan) mengalir, 'Semoga awan putih disiramkan (dijadikan hujan dengan pertolongan) Zat-Nya, untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi para janda.' Syair itu adalah perkataan Abu Thalib."
536. Anas bin Malik mengatakan bahwa Umar ibnul-Khaththab رضي الله عنه apabila terjadi kemarau panjang, dia memohon hujan dengan wasilah (perantaraan) Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata, "Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu membuat wasilah (perantaraan) dengan (doa) Nabi-Mu, kemudian Engkau turunkan hujan. Sesungguhnya kami (sekarang) berperantaraan dengan (doa) paman Nabi-Mu, maka berilah kami hujan." Anas berkata, "Lalu mereka diberi hujan."[2]
[1] Di-mu'allaq-kan oleh penyusun pada Umar bin Hamzah, dan di-maushul-kan oleh Ahmad (2/93) dan lainnya, tetapi di dalamnya terdapat kelemahan. Al-Hafizh berkata, "Dia diperselisihkan tentang kekuatannya untuk dijadikan hujjah. Demikian juga Abdur Rahman bin Abdullah bin Dinar yang tersebut pada jalan yang maushul. Maka, saya menguatkan salah satu dari kedua jalan itu dengan jalan lain, dan ini termasuk contoh salah satu dari dua jalan yang sahih sebagaimana ditetapkan dalam ilmu hadits."
[2] Pada permulaan hadits terdapat tambahan yang penting pada riwayat al-Ismaili dengan isnad Bukhari hingga Anas, katanya, "Orang-orang ditimpa kekeringan pada masa Nabi, meminta hujan dengan doa beliau. Lalu, beliau memintakan mereka agar diturunkan hujan. Kemudian diturunkan hujan buat mereka. Maka, pada waktu pemerintahan Umar." Lalu Anas melanjutkan hadits itu. Yang dimaksud dengan permohonan hujan mereka kepada Nabi صلی الله عليه وسلم ialah meminta kepada beliau agar mendoakan kepada Allah buat mereka agar Dia menurunkan hujan kepada mereka. Dengan alasan, lafal "Fayastasqii lahum", yakni memohonkan hujan kepada Allah untuk mereka, lalu Allah menurunkan hujan kepada mereka. Kisah Anas pada bab al-Jum'ah di muka merupakan contoh tindakan paling jelas yang menggambarkan hakikat permohonan hujan dan tawasul mereka kepada Nabi صلی الله عليه وسلم untuk memintakan hujan. Demikian pula istisqa' Umar kepada Abbas, bukanlah berperantara minta hujan dengan zat Abbas, melainkan dengan doanya. Hal ini diperkuat oleh hadits Ibnu Abbas, "Umar meminta hujan di mushalla (tanah lapang tempat shalat), lalu ia berkata kepada Abbas, 'Berdirilah dan mintakan hujan. ' Lalu Abbas berdiri seraya mengucapkan, 'Ya Allah, sesungguhnya di sisi-Mu ada awan." Hingga akhir doa. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (4913) dengan isnad yang lemah, tetapi al-Hafizh diam saja, barangkali karena banyak syahid 'pendukungnya'. Kalau sudah jelas demikian, maka hadits ini tidak dapat dijadikan dalil untuk memperbolehkan bertawasul (berperantara) dengan orang yang sudah meninggal dunia (mayit). Karena, semua peristiwa di atas adalah merupakan tawasul dengan doa orang yang masih hidup, dan yang demikian ini tidak mungkin terjadi sesudah yang bersangkutan meninggal dunia. Inilah yang menyebabkan Umar bertawasul dengan Abbas (yang masih hidup), bukan dengan Nabi صلی الله عليه وسلم (vang sudah wafat). Ini tidak termasuk bab bertawasul dengan orang yang kurang utama dengan adanya orang yang utama sebagaimana anggapan mereka. Dan yang memperkuat pendapat ini lagi ialah bahwa tidak ada seorang salaf pun yang bertawasul meminta hujan dengan zat Nabi صلی الله عليه وسلم sesudah wafat beliau. Mereka hanya bertawasul meminta hujan dengan doa orang yang hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh adh-Dhahhak bin Qais رضي الله عنه ketika ia meminta hujan dengan perantaraan Yazid bin Aswad al-Jarasyi pada zaman pemerintahan Muawiyah رضي الله عنه. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa ada seorang laki-laki datang ke kubur Nabi saw, pada zaman pemerintahan Umar, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa." Kemudian orang itu bermimpi, dan ia mendengar perkataan dalam mimpinya, "Datanglah kepada Umar." "Hingga akhir hadits, maka hadits ini tidak sah sanadnya. Berbeda dengan pemahaman sebagian mereka terhadap perkataan al-Hadits dalam al-Fath, "dengan isnad sahih dari riwayat Abu Shalih as-Samman dari Malikud-Dar", karena isnad yang sahih itu hanya sampai pada Abu Shalih. Sedangkan, sesudah itu tidak demikian. Karena, Malik ini sepengetahuan saya tidak ada seorang pun ahli hadits yang menganggapnya dapat dipercaya, dan Ibnu Abi Hatim memutihkannya (4/1/213). Dan orang yang meminta hujan itu pun tidak diketahui namanya, sehingga dia adalah majhul. Dan penyebutan Saif di dalam kitabnya al-Futuh bahwa orang itu bernama Bilal bin al-Harits al-Muzani salah seorang sahabat, sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena Saif ini adalah Ibnu Umar at-Tamimi al-Asadi, dan adz-Dzahabi berkata, "Para ulama hadits meninggalkannya dan menuduhnya sebagai zinddiq."
[2] Pada permulaan hadits terdapat tambahan yang penting pada riwayat al-Ismaili dengan isnad Bukhari hingga Anas, katanya, "Orang-orang ditimpa kekeringan pada masa Nabi, meminta hujan dengan doa beliau. Lalu, beliau memintakan mereka agar diturunkan hujan. Kemudian diturunkan hujan buat mereka. Maka, pada waktu pemerintahan Umar." Lalu Anas melanjutkan hadits itu. Yang dimaksud dengan permohonan hujan mereka kepada Nabi صلی الله عليه وسلم ialah meminta kepada beliau agar mendoakan kepada Allah buat mereka agar Dia menurunkan hujan kepada mereka. Dengan alasan, lafal "Fayastasqii lahum", yakni memohonkan hujan kepada Allah untuk mereka, lalu Allah menurunkan hujan kepada mereka. Kisah Anas pada bab al-Jum'ah di muka merupakan contoh tindakan paling jelas yang menggambarkan hakikat permohonan hujan dan tawasul mereka kepada Nabi صلی الله عليه وسلم untuk memintakan hujan. Demikian pula istisqa' Umar kepada Abbas, bukanlah berperantara minta hujan dengan zat Abbas, melainkan dengan doanya. Hal ini diperkuat oleh hadits Ibnu Abbas, "Umar meminta hujan di mushalla (tanah lapang tempat shalat), lalu ia berkata kepada Abbas, 'Berdirilah dan mintakan hujan. ' Lalu Abbas berdiri seraya mengucapkan, 'Ya Allah, sesungguhnya di sisi-Mu ada awan." Hingga akhir doa. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (4913) dengan isnad yang lemah, tetapi al-Hafizh diam saja, barangkali karena banyak syahid 'pendukungnya'. Kalau sudah jelas demikian, maka hadits ini tidak dapat dijadikan dalil untuk memperbolehkan bertawasul (berperantara) dengan orang yang sudah meninggal dunia (mayit). Karena, semua peristiwa di atas adalah merupakan tawasul dengan doa orang yang masih hidup, dan yang demikian ini tidak mungkin terjadi sesudah yang bersangkutan meninggal dunia. Inilah yang menyebabkan Umar bertawasul dengan Abbas (yang masih hidup), bukan dengan Nabi صلی الله عليه وسلم (vang sudah wafat). Ini tidak termasuk bab bertawasul dengan orang yang kurang utama dengan adanya orang yang utama sebagaimana anggapan mereka. Dan yang memperkuat pendapat ini lagi ialah bahwa tidak ada seorang salaf pun yang bertawasul meminta hujan dengan zat Nabi صلی الله عليه وسلم sesudah wafat beliau. Mereka hanya bertawasul meminta hujan dengan doa orang yang hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh adh-Dhahhak bin Qais رضي الله عنه ketika ia meminta hujan dengan perantaraan Yazid bin Aswad al-Jarasyi pada zaman pemerintahan Muawiyah رضي الله عنه. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa ada seorang laki-laki datang ke kubur Nabi saw, pada zaman pemerintahan Umar, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa." Kemudian orang itu bermimpi, dan ia mendengar perkataan dalam mimpinya, "Datanglah kepada Umar." "Hingga akhir hadits, maka hadits ini tidak sah sanadnya. Berbeda dengan pemahaman sebagian mereka terhadap perkataan al-Hadits dalam al-Fath, "dengan isnad sahih dari riwayat Abu Shalih as-Samman dari Malikud-Dar", karena isnad yang sahih itu hanya sampai pada Abu Shalih. Sedangkan, sesudah itu tidak demikian. Karena, Malik ini sepengetahuan saya tidak ada seorang pun ahli hadits yang menganggapnya dapat dipercaya, dan Ibnu Abi Hatim memutihkannya (4/1/213). Dan orang yang meminta hujan itu pun tidak diketahui namanya, sehingga dia adalah majhul. Dan penyebutan Saif di dalam kitabnya al-Futuh bahwa orang itu bernama Bilal bin al-Harits al-Muzani salah seorang sahabat, sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena Saif ini adalah Ibnu Umar at-Tamimi al-Asadi, dan adz-Dzahabi berkata, "Para ulama hadits meninggalkannya dan menuduhnya sebagai zinddiq."