Tawadhu’ adalah perkara yang dianjurkan karena dia adalah akhlak yang mulia. Saking mulianya sampai dalam hadits yang palsu pun disebutkan kemuliannya, seperti hadits berikut:
مِنَ التَّوَاضُعِ أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُمِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ وَمَنْشَرِبَ مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَىرُفِعَتْ لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةًوَمُحِيَتْ عَنْهُ سَبْعُوْنَ خَطِيْئَةًوَكُتِبَ لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةً
“Di antara bentuk ketawadhu’an, seorang mau meminum sisa minuman saudaranya. Barangsiapa yang meminum sisa minum saudaranya, karena mencari wajah Allah -Ta’ala-, maka akan diangkat derajatnya sebanyak 70 derajat, dan akan dihapuskan 70 kesalahan darinya, serta dituliskan baginya 70 derajat.” [HR.Ad-Dauqutniy sebagaimana dalam Al-Maudhu'at (3/40) karya Ibnul Juaziy]
hadits ini adalah hadits yang palsu karena ada seorang rawi yang bernama Nuh bin Abi Maryam, dia adalah seorang yang tertuduh dusta. Selain itu hadits ini semakin lemah karena Ibnu Juraij (seorang rawi dalam hadits ini) adalah seorang yang mudallis, sedangkan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah (menggunakan lafadz dari). Demikia penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (79).