قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ نَسَخَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عِدَّتَهَا عِنْدَ أَهْلِهَا فَتَعْتَدُّ حَيْثُ شَاءَتْ وَهُوَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى { غَيْرَ إِخْرَاجٍ } قَالَ عَطَاءٌ إِنْ شَاءَتْ اعْتَدَّتْ عِنْدَ أَهْلِهِ وَسَكَنَتْ فِي وَصِيَّتِهَا وَإِنْ شَاءَتْ خَرَجَتْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ } قَالَ عَطَاءٌ ثُمَّ جَاءَ الْمِيرَاثُ فَنَسَخَ السُّكْنَى تَعْتَدُّ حَيْثُ شَاءَتْ
2301. Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Ayat yang menerangkan tentang iddah empat bulan sepuluh hari telah di-nasakh dengan ayat yang menunjukkan bahwa wanita bisa menghabiskan masa iddah semaunya, yaitu: "Dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)." (Qs. Al Baqarah [2]: 240)
Atha' berkata: itu tergantung kemauan si wanita; ingin menghabiskan masa iddah pada keluarganya dan menetapi wasiatnya, atau ingin keluar. Karena, Allah berfirman, "Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat maruf terhadap diri mereka. " (Qs. Al Baqarah [2]: 240)
Atha' berkata: Kemudian datanglah ayat warisan yang menasakh ayat yang menganjurkan tempat tinggal, maksudnya wanita diberi kebebasan dalam ber-iddah menurut kemauannya. {Shahih: Bukhari)